Rasa prihatin seketika muncul bila dalam kelas pelatihan saya menangkap
ekspresi tidak “happy” di dalam diri calon-calon eksekutif cemerlang.
Banyak yang mengeluh keadaan organisasi yang mengharuskan birokrasi.
Banyak juga yang merasakan menjadi korban karena “masih junior”.
Sebagian besar tidak rela pulang malam hari, masuk di akhir pekan, dan
tidak menemukan “manfaat” atau sisi positif bila harus berpartisipasi
pada acara-acara yang bertujuan meningkatkan motivasi dan memberi
julukan kegiatan semacam itu sebagai “ekstrakurikuler” yang memberatkan.
Seorang yang lebih serius mencoba mengurai panjang lebar mengenai
kesenjangan harapan dalam kehidupan pribadinya, dengan ambisi kariernya,
sehingga ia pada suatu saat harus “memilih” antara karier atau
kehidupan pribadi. Kita tentu bertanya-tanya, apakah kehidupan di kantor
memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan rumah,
sehingga banyak orang mengejar keseimbangan rumah-kantor alias “work
life balance”? Apakah kita tidak bisa menjadi satu orang yang sama-sama
bahagia, saat di kantor dan di rumah? Apakah memang di kantor kita harus
“menjadi orang lain” dan meninggalkan sebagian dari diri kita di rumah?
Saat saya berdiskusi dengan CEO yang merangkap pemilik perusahaan, pesan
yang saya tangkap adalah beliau ingin agar semua karyawannya bersikap
serius, fokus pada pekerjaan, tidak main-main, dan yang paling penting
tidak cengar cengir alias tidak tersenyum. Seketika timbul pertanyaan:
”Haruskah bekerja se-“ngoyo” itu?”. Seluruh upaya kerja yang kita
lakukan adalah karena kita ingin bahagia, bukan? Bukankah kita
membutuhkan manusia-manusia "frontline" yang memang happy dari dalam,
sehingga pelanggan merasa benar-benar dilayani setulus hati? Bila
situasi happy ini bisa kita tumbuhkan, selain "turnover" lebih kecil,
sudah pasti produktivitas akan meningkat baik dari segi mutu maupun
volume.
Menyalurkan happiness secara strategik
Seorang profesor di bidang marketing, Jennifer Aaker, sangat meyakini
bahwa upaya untuk mengejar happiness di perusahaan akan membuahkan
produktivitas yang luar biasa. Ia melakukan eksperimen, dengan meminta
karyawan di satu perusahaan, membuat foto situasi yang membuat mereka
paling happy di kantor, dan membuat "rating" dari angka 1 sampai 10.
Hasil dari penelitian kecil ini menggambarkan bagaimana orang di kantor
tersebut bisa menemukan kebahagiaan dari hal-hal di dalam pekerjaannya.
Banyak orang menyatakan kadar happiness yang muncul saat berhasil
menyelesaikan suatu tugas yang sulit setara dengan kepuasan saat
menuntaskan lari maraton, atau kelegaan perasaan sehabis ujian.
Penelitian ini juga menggambarkan, bahwa banyak karyawan yang menemukan
pengalaman-pengalaman "berarti" di pekerjaan yang sama rasanya dengan
bila sedang menikmati entertaintment, misalnya pada saat mendapatkan
tugas baru, membantu teman menyelesaikan tugasnya, atau membawa anggota
keluarga ke kantor. Ditemukan juga dalam penelitian ini bahwa hampir
semua karyawan excited untuk menemukan momen-momen yang membahagiakan
karena maraknya media sosial seperti Facebook dan Twitter, serta
kebutuhan mereka untuk menunjukkan foto-foto kegiatan mereka di
situs-situs tersebut.
Disadari atau tidak, happiness sudah menjadi komoditi. Bila biasanya
kita melihat happiness sebagai suatu keadaan yang merupakan output dari
situasi, sikap, dan suasana organisasi tertentu, maka sudah saatnya kita
menjadikan happiness tidak sekadar sebagai fitur, namun bahkan sebagai
bisnis model yang mewarnai berbagai proses dalam situasi kerja. Hal
inilah yang diyakini dan diterapkan oleh Tony Hsieh, CEO Zappos.
Ia sadar betul bahwa pelanggan harus dilayani oleh orang-orang yang
happy. Hanya orang-orang yang happy lah yang bisa duduk lebih lama
dengan pelanggan dan berusaha memahaminya. “Customer service is about
making customers happy, company culture is about making employees happy,
so let’s just simplify it and at the same time, amplify our vision for
our customers, employees, vendors, and peers.” Demikian Tony Hsieh
menyebarkan positive psychology kepada stakeholders-nya. Dengan fokus ke
happiness dalam kultur perusahaan dan upaya customer service-nya,
Zappos tidak harus susah-susah membuat para pelanggan berada di
tengah-tengah kegiatan cutomer service Zappos. Pendekatan ini
benar-benar pendekatan beyond money.
Happiness itu serius
Walaupun happiness selalu mengandung unsur "pleasure", membentuk kultur
yang diwarnai happiness tidaklah mudah. Kita tidak bisa santai-santai
dan secara otomatis mendapatkan keadaan ini. Kita perlu bekerja keras
mengupayakan status ini. Martin Seligman ahli positive psychology
mengatakan, “It is not an easy task, but it is easily the most important
one that we have in our lives. After all, what is the point of living
if we are not happy?”
Karyawan perlu mempersepsi bahwa tuas kontrol yang mengatur happy dan
tidaknya dia, ada dalam dirinya, bukan ditentukan oleh atasan atau
perusahaan. Ia pun perlu merasakan kemajuan kinerja perusahaan untuk
menjaga semangatnya. Kebersamaan dan keterikatan dengan rekan sejawat
juga penting, selain juga perlunya diperjelas “arti dan nilai” dalam
bekerjanya.
Kita bisa melihat bahwa sistem reward model “carrot and stick” sudah
basi. Saat sekarang karyawan akan happy bila pekerjaannya terkait dengan
hal yang lebih besar seperti pelestarian lingkungan, pengajaran,
situasi yang melibatkan orang yang lebih banyak, atau dunia yang lebih
global. Bukankah Al Gore menginspirasi hampir separuh populasi dunia
dengan kepeduliannya terhadap perubahan iklim?
Karyawan bisa happy dan lupa waktu saat bekerja keras bila ia tahu
betapa pekerjaannya membuat impact terhadap dunia. Kita semua tahu bahwa
kebahagiaan tidak bersumber dari uang, mobil bagus, rumah seperti
istana, bukan? Prinsip inilah yang perlu kita pegang, pada saat kita
menghadapi generasi muda yang kritis, dan persaingan bisnis yang tidak
menentu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar